Wednesday, December 09, 2015

makalah mahar

tafsir ayat tentang Mahar

BAB I
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG

Pernikahan merupakan salah satu dari sunnah rasul, ia diartikan sebagai sebuah ikatan dan perjanjian antara suami istri yang mengharuskan masing-masing pihak menaati kewajibannya.


Dalam pernikahan, Allah mewajibkan seorang suami memberikan mahar kepada seorang istri agar suami menghayati kemuliaan dan kehormatan istrinya, maka Allah memerintahkannya untuk memberikannya sebuah hibah yang bersifat sukar\ela atau yang sering disebut dengan mahar.

Pernikahan merupakan suatu kontrak sosial antara seorang laki-laki dan perempuan untuk hidup bersama. Dalam syariat islam, pemberian maskawin merupakan suatu kewajiban bagi seorang laki-laki yang merupakan kesediaannya untuk menjadi suami dari perempuan yang diberi mahar tersebut.


Banyak dari kalangan masyarakat yang salah dalam memahami mahar tersebut, mereka menganggap bahwa mahar hanya sebatas pelengkap ritual akad nikah semata. Dengan demikian tidak sedikit orang yang tidak bisa membedakan antara mahar dan barang gawan.

Dari kedua jenis pemberian ini menjadikan mahar seolah tidak penting karena mahar ini menjadi hak penuh seorng istri yang tidak ada harapan untuk bisa diambil kembali oleh pihak laki-laki. Sehingga dengan adanya pemahaman ini, tidak jarang laki-laki yang memberi mahar kepada pasangannya dengan seperangkat alat shalat saja.
Hal ini harus diluruskan untuk bisa menjadikan arti sebuah perkawinan yang bertanggungjawab bisa tercapai, sehingga tidak hanya sebagai kontrak sosial semata. Karena hakikat pernikahan adalah untuk bisa hidup bersama secara utuh yang di dalamnya harus saling



B.     RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis perlu merumuskan masalah-masalah yang akan dibahas dalam makalah ini, diantaranya:

1.      Apa pengertian dari mahar?

2.      Apa isi kandungan surat Al-Nisa’ ayat 4?

3.      Bagaimana sababun nuzul surat Al-Nisa’ ayat 4?

4.      Berapa batasan jumlah mahar?

5.      Kenapa mahar diberikan secara kontan dan terhutang?

6.      Bagaimana implikasi mahar terhadap relasi hubungan suami istri?


C.     TUJUAN PENULISAN MAKALAH

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1.        Untuk mengetahui pengertian mahar.
2.        Untuk mengetahui sababun nuzul surat Al-Nisa’ ayat 4.
3.        Untuk mengetahui kandungan surat Al-Nisa’ ayat 4.
4.        Untuk menegetahui batasan jumlah mahar
5.        Untuk mengetahui mahar yang diberikan secara kontan maupun terhutang
6.        Untuk mengetahui implikasi mahar terhadap relasi hubungan suami istri








BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian mahar  

Beberapa definisi mahar       
1.      Mahar berasal dari bahasa Arab. Yaitu bentuk masdar dari kata Mahara-Yamharu-Mahran yang artinya maskawin[1].  Di dalam al-Quran istilah mahar disebut dengan al-sadaq, al-saduqah, al-nihlah, al-ajr, al-faridah dan al-‘aqd yang artinya adalah maskawin. Menurut istilah syara’ mahar ialah suatu pemberian yang wajib diberikan oleh suami kepada isteri dengan sebab pernikahan[2].
2.      Menurut KHI pasal 1 ayat 4, mahar adalah pemberian dari calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita, baik berbentuk
barang, uang atau jasa yang tidak bertentangan dengan hukum Islam[3].
Pemberian mahar suami sebagai lambang kesungguhan suami terhadap isteri. Selain itu ianya mencerminkan kasih sayang dan kesediaan suami hidup bersama isteri serta sanggup berkorban demi kesejahteraan rumah tangga dan keluarga. Ia juga merupakan penghormatan seorang suami terhadap isteri.
Walau bagaimanapun mahar tidaklah termasuk di antara rukun-rukun nikah atau syarat sahnya sesuatu pernikahan. Sekiranya pasangan bersetuju bernikah tanpa menentukan jumlah mahar, pernikahan tersebut tetap sah tetapi suami diwajibkan membayar mahar misil ( yang sepadan ). Ini berdasarkan satu kisah yang berlaku pada zaman Rasulullah s.a.w. di mana seorang perempuan telah berkahwin tanpa disebutkan maharnya. Tidak lama kemudian suaminya meninggal dunia sebelum sempat bersama dengannya ( melakukan persetubuhan ) lalu Rasulullah mengeluarkan hukum supaya perempuan tersebut diberikan mahar misil untuknya[4].

B.     Ayat tentang Mahar

Di dalam al-qur’an banyak sekali yang membahas tentang pemberian maskawin atau mahar terhadap seorang wanita, diantaranya termuat dalam surat an-nisa’ayat 4.





Artinya:

“berikanlah maskawin ( mahar) kepada wanita yang kamu nikahi sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah ( ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya

C.     Al- Mufradat dan Tafsir Ayat

Saduqatihinna             :Maskawin atau mahar wanita-wanita yang kamu nikahi

Nihlah                         :sebagai pemberian dengan penuh kerelaan

Thibna                         :senang hati dengan mereka

Hanian                       :sebagai makanan yang sedap

Marian                       :lagi baik akibatnya
Saduqatihinna diartikan sebagai Maskawin atau mahar wanita-wanita yang kamu nikahi mengandung maksud bahwa mahar diartikan sebagai lambanh kesediaan suami menanggung kebutuhan istri. Oleh karena itu maskawin hendaknya sesuatu yang mengandung nilai materi walaupun sedikit, sebagaimana sabda nabi bahwa maskawin boleh dari cincin yang berasal dari besi[5].
Nihlah diartikan sebagai pemberian dengan penuh kerelaan maksudnya yaitu pemberian yang tulus tanpa meminta kembalian (imbalan). Secara bahasa nihlah juga bisa berarti agama, syariat, dan juga pandangan hidup. Sehingga ibnu abbas, qatadah, ibnu huraij, dan ibnu zaid menafsirkan nihlah dengan sebuah kewajiban dari Allah[6] yang harus diberikan oleh suami terhadap istrinya sebagai bukti kebenaran dan ketulusan cintanya.

Nihlah juga berasal dari kata nahl yang artinya lebah. Dalam tafsir al-azhar, nihlah dimaksudkan untuk mengibaratkan seorang laki-laki yang mencari harta yang halal seperti lebah yang mencari kembang yang kelak akan menjadi madu.  Dari jerih payah itulah yang nanti akan diberikan kepada istrinya sebagai pemberian yang penuh ikhlas dan sukarela atau yang sering disebut mahar.[7]
Hanian marian diartikan sebagai makanan yang sedap lagi baik akibatnya, maksudnya yaitu jika istrinya menyerahkan maskawin kepada suaminya dengan penuh ikhlas maka suami boleh menggunakannya.

D.    Asbab al Nuzul

QS. An-Nisa ayat 4 turun sehubungan dengan kebiasaaan para bapak atau wali menggunakan dan menerima mahar. Dengan tanpa seijin putrinya( anak yang menjadi tanggungjawabnya) yang dinikahkan.

Sehubungan dengan adat itu Allah menurunkan ayat yang berupa larangan hal tersebut. Alhasil bagi wali tidak diperbolehkan menggunakan mahar putrinya. Sehingga turun ayat trsebut.

Di dalam tafsir al-Jalalain juga diterangkan Sabab An- Nuzul Qs. An-Nisa ayat 4 juga dilatarbelakangi oleh sebagian orang yang memakruhkan bagi suami untuk mengambil dan menggunakan mas kawin yang telah diberikan pada istrinya dengan catatan dari pihak istri memberikannya dengan senang hati.


E.     Batasan mahar 

             Pemberian mahar adalah salah satu yang disyariatkan oleh ajaran agama islam. Mengenai besarnya mahar, para fuqaha telah sepakat bahwa tidak ada batasan tertinggi bagi mahar. Akan tetapi mengenai batasan terendahnya mereka berbeda pendapat tentang hal ini.

            Menurut KHI pasal 31, penentuan mahar berdasarkan atas kesederhanaan dan kemudahan yang dianjurkan oleh ajaran islam.[8]

            Imam Syafi’i, iAhmad, Ishaq, Abu Tsaur, dan fuqaha madinah dari kalangan tabiin berpendapat bahwa tidak ada batasan terendah untuk pemberian mahar.[9]     

            Sedangkan imam Malik dan para pengikutnya mengatakan bahwa mahar itu paling sedikit adalah seperempat dinar emas murni. Adapun menurut imam Abu hanifah, mahar paling sedikit adalah sepuluh dirham.[10]  

            Imam syafii dan semua pengikutnya berpendapat bahwa sabda Nabi SAW, “carilah, walaupun hanya cincin besi”, merupakan dalil bahwa mahar itu tidak ada batasan terendahnya.

F.      Mahar kontan dan mahar terhutang menurut para ulama 

Mahar bisa dibayarkan sesuai dengan kemampuan atau disesuaikan dengan keadaan dan adat masyarakat atau kebiasaan yang berlaku. Mahar boleh dilaksanakan dan diberikan dengan kontan maupun terhutang, 

Mengenai mahar terhutang, terdapat dua perbedaan pendapat dikalangan ahli fiqh. Yang pertama yaitu mahar tidak boleh diberikan dengan cara dihutang secara keseluruhan. Artinya mahar tersebut harus diangsur atau dibayarkan sebagiannya terlebih dahulu. Pendapat yang kedua yaitu boleh diangsur tetapi dengan batasan waktu tertentu yang merupakan pendapat dari imam Malik.[11]

Perbedaan pendapat tersebut karena apakah pernikahan tersebut dapat disamakan dengan jual beli dalam hal penundaan atau tidak dapat disamakandengan jual beli.                              

G.    Implikasi mahar terhadap relasi hubungan suami isteri

Dengan adanya kewajiban memberi mahar kepada istri maka suami tersebut memiliki tanggung jawab yang sangat besar terhadap seorang wanita yang ingin dinikahinya.

Pemberian mahar suami sebagai lambang kesungguhan suami terhadap isteri. Selain itu ianya mencerminkan kasih sayang dan kesediaan suami hidup bersama isteri serta sanggup berkorban demi kesejahteraan rumah tangga dan keluarga. Ia juga merupakan penghormatan seorang suami terhadap isteri.
Pemberian mahar merupakan salah satu jalan yang dapat menjadikan istri merasa senang dan ridha menerima kekuasaan suami terhadap dirinya. Pemberian mahar kepada istri bukanlah harga dari wanita itu, bukan pula sebagai pembelian wanita dari orang tuanya. Akan tetapi hal ini merupakan salah satu sebab dihalalkannya hubungan suami istri diantara keduanya, yaitu hubungan timbal balik antara keduanya dengan senang hati dan penuh kasih sayang dengan melakukan status kepemimpinan dalam rumah tangga secara tepat dan tanggung jawab[12].

Tidak hanya itu, mahar akan mempengaruhi kedua pasangan suami istri sebagai wujud kasih sayang diantara keduanya.

BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
Mahar adalah hak isteri yang diberikan oleh suami dengan hati yang tulus ikhlas tanpa mengharapkan balasan sebagai pernyataan kasih sayang dan tanggungjawab suami atas kesejahteraan rumah tangga.

Pemberian mahar merupakan salah satu jalan yang dapat menjadikan istri merasa senang dan ridha menerima kekuasaan suami terhadap dirinya. Pemberian mahar kepada istri bukanlah harga dari wanita itu, bukan pula sebagai pembelian wanita dari orang tuanya. Akan tetapi hal ini merupakan salah satu sebab dihalalkannya hubungan suami istri diantara keduanya,
B.     SARAN
Demikianlah makalah yang dapat kami buat, dengan menyadari dalam pembuatan makalah ini masih terdapat banyak kesalahan dan kekurangan, untuk itu kritik dan saran yang bersifat konstruktif sangat kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini dan berikutnya. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua. Amin.











DAFTAR PUSTAKA

Azzuhaili, Wahbah,  Fiqh Islam Wa Adillatuhu, Terj.Abdul Hayyie Al-Kattani Dkk, Jakarta: Gema Insani, 2011.

Hamka, Tafsir Al-Azhar, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982.

Kompilasi Hukum Islam

Nawawi Al-Bantani, Muhammad, marah labid, tafsir al-nawawi,  Indonesia: Daar Ihya Al-Kutub Al-Arabiyah, t.th

Qutub, Sayyid, Tafsir Fi Zhillalil Qur’an, Jakarta: Gema Insani Press, 2001.

Rahman Ghazali, Abdul, Fiqh Munakahat, Jakarta: Prenada Media Group, 2010

Shihab, M. Quraish, Tafsir Al Misbah Vol.2. Jakarta: Lentera Hati, 2011.

Syarifuddin, Amir,  Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2011

Yunus, Mahmud , Kamus Arab Indonesia, Jakarta: Hidakarya Agung, 1989.



[1] Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1989), cet. Ke-1 hal 431.

[2] Abdul Rahman Ghazali, Fiqh Munakahat, ( Jakarta: Prenada Media Group, 2010), Hal. 84

[3] Kompilasi Hukum Islam. Pasal 1

[4] Sayyid Qutub, Tafsir Fi Zhillalil Qur’an, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001). Hal 282


[5] M. Quraish Shihab, Tafsir Al Misbah Vol.2 ( Jakarta: Lentera Hati, 2011) Cet. 5 Hal. 415-416

[6] Muhammad Nawawi Al-Bantani, marah labid, tafsir al-nawawi, ( Indonesia: Daar Ihya Al-Kutub Al-Arabiyah, t.th), juz 1, hal. 139

[7] Hamka, Tafsir Al-Azhar, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982), Cet. Ke-1 Juz III, Hal 260.

[8] Kompilasi hukum islam pasal 31.

[9] Abdul Rahman Ghazali, Op.Cit., hal 88.

[10] Ibid.,hal 88

[11] Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia, ( Jakarta: Kencana, 2011) Cet.3 Hal 79

[12] Wahbah Azzuhaili, Fiqh Islam Wa Adillatuhu, Terj.Abdul Hayyie Al-Kattani Dkk, (Jakarta: Gema Insani, 2011) 

mampir ke blog q yng lain ya say
 

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.